Sumber hukum yang disepakati jumhur ulama yakni Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas, landasannya berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Nabi Shallallahahu 'alaihi wassalam Muadz ibn Jabal ketika diutus ke Yaman.

عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:"كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟"، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:"فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟"قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:"فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟"قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:"الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ" 
Dari Muadz ibn Jabal radhiallahu anhu bahwa Nabi Shallallahahu 'alaihi wassalam ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Shallallahahu 'alaihi wassalam”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Shallallahahu 'alaihi wassalam”? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Shallallahahu 'alaihi wassalam memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Shallallahahu 'alaihi wassalam”.

al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum islam. Karenanya dalam perujukan hukum-hukum syari’at al-Qur’an haruslah dikedepankan. Bila di al-Qur’an tidak ditemui maka beralih kepada al-Sunnah karena al-sunnah adalah penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di al-sunnah tidak ditemukan maka beralih kepada ijma’ karena sandaran ijma’ adalah nash-nash al-Qur’qn dan al-Sunnah. Bila dalam ijma’ tidak ditemukan maka haruslah merujuk kepada qiyas.Dengan demikian maka tertib urutan hukum islam adalah al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ketika ia diutus oleh Rasulullah Shallallahahu 'alaihi wassalam menjadi qadli di Yaman. Rasulullah Shallallahahu 'alaihi wassalam bertanya: “Ketika dihadapkan suatu permasalahan, dengan cara bagaimana engkau member putusan? Mu’adz menjawab “Saya akan memutusinya berdasarkan kitab Allah. Rasulullah bertanya lagi “Bila engkau tidak menemuinya di dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab” Saya akan memutusinya dengan sunnah Rasulullah”. Rasul kembali bertanya” Bila tidak engkau temukan di dalam sunnah Rasulullah?” Mu’adz menegaskan “Saya akan berijtihad berdasarkan pendapat saya dan saya akan berhati-hati dalam menerapkannya.”kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata” Segala puji bagi Allah yang memberi petunjuk pada utusan Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan rasul-Nya”.
Diriwayatkan dari Abu Bakar radhiallahu anhu, ketika beliau menjumpai suatu permasalahan, maka beliau merujuk kepada kitabullah. Bila tidak dijumpai di dalam kitabullah maka beliau memutusinya dengan sunnah Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam. Bila beliau kesulitan menemukannya,maka beliau mengumpulkan beberapa tokoh pilihan dari sahabat kemudian mengajaknya musyawarah. Bila forum bersepakat maka Abu Bakar memutusinya dengan kesepakatan itu. Demikian pula langkah Umar bin Khathab serta sahabat yang lain dan diikuti oleh kaum muslimin setelahnya.
Selain al-quran yang sebagai sumber hukum islam ada lagi yaitu as-sunnah. Sunnah menurut ahli usul fikih adalah segala yang di riwayatkan dari nabi muhammas Shallallahahu 'alaihi wassalam. Berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.

Berdasarkan definisi sunnah yang di kemukakan oleh para ulama ushul fikih di atas sunnah yang menjadi sumber hukum islam dan dalil hukum islam kedua itu ada 3 macam yaitu ;
1. Sunnah filiyyah
2. Sunnah qouliyyah
3. Sunnah qauniyyah
4. Sunnah takririyyah

1. Ijma’
Ijma’ dalam pengertian bahasa memiliki dua arti. Pertama, berupaya (tekad) terhadap sesuatu. disebutkan أجمع فلان على الأمر   berarti berupaya di atasnya. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata'ala:

“Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu. (Qs.10:71)

Pengertian kedua, berarti kesepakatan. Perbedaan arti yang pertama dengan yang kedua, bahwa arti pertama berlaku untuk satu orang dan arti kedua lebih dari satu orang. Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah kesepakatan semua para mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Shallallahahu 'alaihi wassalam atas hukum syara'. Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya kesepakatan para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .‘Kesepakatan’ itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
  1. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena ‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati antara satu dengan yang lain.
  2. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka. Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah, Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu masa.
  3. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk perkataan, fatwa atau perbuatan.
  4. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid. Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.  

Syarat Mujtahid

Mujtahid hendaknya sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat:
  1. Syarat pertama,: Memiliki pengetahuan tentang Al Qur’an, pengetahuan Sunnah, pengetahuan Ijma’ sebelumnya.
  2. Syarat kedua, memiliki pengetahuan tentang ushul fikih.
  3. Syarat ketiga, Menguasai ilmu bahasa.
Selain itu, al-Syatibi menambahkan syarat selain yang disebut di atas, yaitu memiliki pengetahuan tentang maqasid al-Syariah (tujuan syariat). Oleh karena itu seorang mujtahid dituntut untuk memahami maqasid al-Syariah. Menurut Syatibi, seseorang tidak dapat mencapai tingkatan mujtahid kecuali menguasai dua hal: pertama, ia harus mampu memahami maqasid al-syariah secara sempurna, kedua ia harus memiliki kemampuan menarik kandungan hukum berdasarkan pengetahuan dan pemahamannya atas maqasid al-Syariah.   

Kehujjahan Ijma’

Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Shallallahahu 'alaihi wassalam dari seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun individu. Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut, kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).  

2. Qiyas

Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum. Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula.

Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata'ala:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs.5:90) 

Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.Berhubung qiyas merupakan aktivitas akal, maka beberapa ulama berselisih faham dengan ulama jumhur. Pandangan ulama mengenai qiyas ini terbagi menjadi tiga kelompok:
  1. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
  2. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
  3. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.

Kehujjahan Qiyas

Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum  qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i. 

Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
“Dia-lah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; Maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (Kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, Hai orang-orang yang mempunyai wawasan. (Qs.59:2)Dari ayat di atas bahwasanya Allah subhanahu wata'ala memerintahkan kepada kita untuk ‘mengambil pelajaran’, kata I’tibar di sini berarti melewati, melampaui, memindahkan sesuatu kepada yang lainnya. Demikian pula arti qiyas yaitu melampaui suatu hukum dari pokok kepada cabang maka menjadi (hukum) yang diperintahkan. Hal yang diperintahkan ini mesti diamalkan. Karena dua kata tadi ‘i’tibar dan qiyas’ memiliki pengertian melewati dan melampaui.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs.4:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas. Sementara diantara dalil sunnah  mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Shallallahahu 'alaihi wassalam, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.

Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Shallalahu 'alaihi wassalam sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan wajib diamalkan.Umpamanya, bahwa Abu Bakar radhiallahuanhu suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah subhanahu wata'ala mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah. 

Rukun Qiyas

Qiyas memiliki rukun yang terdiri dari empat hal:
  1. Asal (pokok), yaitu apa yang terdapat dalam hukum nashnya. Disebut dengan al-maqis alaihi.
  2. Fara’ (cabang), yaitu sesuatu yang belum terdapat nash hukumnya, disebut pula al-maqîs.
  3. Hukm al-asal, yaitu hukum syar’i yang terdapat dalam dalam nash dalam hukum asalnya. Yang kemudian menjadi ketetapan hukum untuk fara’.
  4. Illat, adalah sifat yang didasarkan atas hukum asal atau dasar qiyas yang dibangun atasnya. 

TERTIB URUTAN SUMBER-SUMBER HUKUM

Bila ditelusuri lebih jauh,sumber-sumber hukum islam baik yang telah disepakati para ulama dalam penetapannya maupun yang masih manjadi perdebatan pada dasarnya terkonsentrasi pada sumber uhukum naqliyah(dogmatic) yakni al-Qur’an dan al-sunnah. Karena sumber-sumber hukum tidaklah ditetapkan keabsahannya melalui potensi akal namun bergantung kepada adanya legitimasi dari al-Qur’an dan al-sunnah. Karena itulah al-Qur’an dan al-sunnah adalah dalil primer dalam perujukan hukum-hukum syari’at. Hal ini didasarkan pada dua sisi :
1. Muatan al-Qur’an dan al-sunnah mencakup keterangan hukum-hukum parsial dan cabangan secara detail sebagaimana hukum-hukum zakat,perdagangan,dan sanksi-sanksi pelanggaran.
2. Muatan al-Qur’an dan al-sunnah yang mencakup kaidah universal yang menjadi sandaran hukum-hukum parsial dan cabangan sebagaimana ijma’ adalah hujjah dan merupakan sumber hukum,begitu pula qiyas dan lain sebagainya.Legalitas al-Sunnah sebagai sumber hukum juga tertera dalam al-Qur’an. Hal ini juga didasarkan pada dua sisi pandang:
1. Al-Qur’an memerintahkan untuk mengamalkan dan berpedoman kepada al-sunnah.
2. Al-Sunnah memiliki fungsi sebagai penjelas dari kandungan al-Qur’an.

Berdasarkan alasan-alasan di atas maka al-Qur’an adalah sumber dari segala sumber hukum islam. Karenanya dalam perujukan hukum-hukum syari’at al-Qur’an haruslah dikedepankan. Bila di al-Qur’an tidak ditemui maka beralih kepada al-Sunnah karena al-sunnah adalah penjelas bagi kandungan al-Qur’an. Apabila di al-sunnah tidak ditemukan maka beralih kepada ijma’ karena sandaran ijma’ adalah nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Bila dalam ijma’ tidak ditemukan maka haruslah merujuk kepada qiyas.Dengan demikian maka tertib urutan hukum islam adalah al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ketika ia diutus oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam menjadi qadli di Yaman. Rasulullah bertanya: 

Ketika dihadapkan suatu permasalahan, dengan cara bagaimana engkau member putusan? Mu’adz menjawab “Saya akan memutusinya berdasarkan kitab Allah. Rasulullah bertanya lagi “Bila engkau tidak menemuinya di dalam kitab Allah?” Mu’adz menjawab” Saya akan memutusinya dengan sunnah Rasulullah”. Rasul kembali bertanya” Bila tidak engkau temukan di dalam sunnah Rasulullah?” Mu’adz menegaskan “Saya akan berijtihad berdasarkan pendapat saya dan saya akan berhati-hati dalam menerapkannya.”kemudian Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata” Segala puji bagi Allah yang memberi petunjuk pada utusan Rasulullah dengan apa yang diridlai oleh Allah dan rasul-Nya”.Diriwayatkan dari Abu Bakar radhiallahu anhu, ketika beliau menjumpai suatu permasalahan, maka beliau merujuk kepada kitabullah. Bila tidak dijumpai di dalam kitabullah maka beliau memutusinya dengan sunnah Rasulullah Shallallahahu 'alaihi wassalam. Bila beliau kesulitan menemukannya,maka beliau mengumpulkan beberapa tokoh pilihan dari sahabat kemudian mengajaknya musyawarah. Bila forum bersepakat maka Abu Bakar memutusinya dengan kesepakatan itu. Demikian pula langkah Umar bin Khathab serta sahabat yang lain dan diikuti oleh kaum muslimin setelahnya
Kedudukan sunnah sebagai dalil  hukum islam
Sunnah berfungsi sebagi penjelas terhadap hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam kedudukanya sebagai penjelas itu kadang-kadang sunnah itu memperluas hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Qur’an.

Kedudukanya sebagai dalil atau sumber bayani, yaitu sekedar menjelaskan hukum Al-Qur’an tidak diragukan lagi, karena memang untuk itulah Nabi ditugaskan Allah. Dalam kedudukannya sebagai sumber yang berdiri sendiri sebagai sumber kedua dengan arti menetapkan sendiri hukum di luar yang tersebut dalam Al-Qur’an dipertanyakan oleh ulama Ushul Fiqh. Karena ini disebabkan oleh keterangan Allah sendiri bahwa Al-Qur’an atau agama sudah sempurna (Al_Maidah:4), karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sunnah.
Dari segi kekuatan penunjukanya terhadap hukum (dilalahnya) sunnah terbagi kepada dua, yaitu :
  • Pertama penunjukan yang pasti (qat’i) yaitu sunnah yang membarikan penjelasan terhadap hukum dalam Al-Qur’an secara tidak tegas dan terinci hingga memungkinkan adanya pemahaman lain.
  • Kedua penunjukan yang tidak pasti (zanni) yaitu sunnah yang memberikan penjelasan terhadap hukum dalam Al-Qur’an secara yang tidak tegas dan terinci hingga dapat timbul kemungkinan-kemungkinan dan menimbulkan perbedaan versi dalam penetapan hukum.
Sunnah yang mempunyai martabat tertinggal dalam kedudukanya sebagai sumber dan dalil hukum adalah sunnah yang qat’i dari segi sanadnya dan qat’i pula dari segi dalalahnya. Namun jumlahnya sangat terbatas.
Setiap orang yang mengingkari Sunnah adalah kafir. Demikian pula setiap orang yang mengingkari satu perkara saja di dalam Al-Qur’an yang telah jelas penunjukannya. Al-Qur’an telah menetapkan tentang wajibnya taat kepada Rasulullah.

Dengan demikian, orang yang mengingkari perintah Rasul (Sunnahnya) adalah kafir. Ini adalah hukum Islam yang disandarkan oleh semua lembaga fatwa Islam. Firman Allah :

"Demi Tuhanmu, tidaklah mereka itu beriman hingga mereka menjadikan engkau sebagi hakim di dalam perkara yang diperselisihkan di antara mereka. Lantas mereka tidak menemukan pada dirinya keberatan terhadap apa yang engkau putuskan itu. Mereka menerimanya dengan penuh kepasrahan. "(QS 4:65).
Oleh karena itu, pengambilan dan penetapan hukum terhadap Al-Qur’an dan Sunnah mesti dilakukan bersamaan, tidak boleh ada diskriminasi diantara keduanya. Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh mengambil hukum selain dari Al-Qur’an dan Sunnah. Demikian pula para hakim dan penguasa, mereka tidak boleh menetapkan hukum dengan apa yang tidak diturunkan oleh Allah atau Sunnah Rasul. Barang siapa yang telah kafir karena pengingkaranya terhadap keduanya, berarti dia telah kafir, karena pengingkaranya terhadap hukum Allah dan sikapnya yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah. Sedangkan orang yang hawa nafsunya cenderung untuk melakukan penyimpangan terhadap keyakinan, penuturan, dan pengakuanya bahwa hukum Allah dan Rasul-Nya itu adalah yang paling utama, paling wajib untuk diamalkan, dan paling baik. Hukum bagi orang yang melakukan penyimpangan terhadap Islam hanyalah apabila ia melakukan salah satu perbuatan maksiat, bukan karena menetapkan hukum halal-haram di luar yang bersumber dari Allah.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama