Dalam banyak buku-buku keislaman, kita sering kali menjumpai berbagai istilah yang kebanyakan orang awam tidak memahaminya secara baik. Di antara istilah-istilah tersebut ialah wajib, sunnah, mubah, makruh, dan wajib. Berikut ini adalah penjelasan ringkas mengenai lima istilah tersebut yang lazim disebut sebagai الأَحْكَامُ التَّكْلِيْفِيَّةُ الخَمْسَةُ, yaitu 5 macam hukum taklifi.
1. Wajib 
Menurut Imam Ibnu Qudamah, wajib memiliki pengertian:
ما توعد بالعقاب بتركه 
Segala sesuatu yang apabila ditinggalkan, mendapatkan ancaman siksa.” 

“Ancaman diksa” tidak menafikan adanya ampunan di akhirat, sebagaimana penjelasan Al-Quran: 

وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ 
“…dan Allah akan mengampuni dosa yang besarnya di bawah kemusyrikan, bagi siapa yang Dia kehendaki.” [An-Nisa: 48 & 166] 

Sementara itu, Syaikh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi mendefinisikan wajib sebagai: 
ما أمر به أمرا جازما 
“Segala sesuatu yang diperintahkan dengan sangat agar dikerjakan.” 

Sehingga konsekuensi wajib ialah bahwa orang yang mengerjakannya akan dijanjikan pahala, sementara orang yang enggan mengerjakannya akan diancam siksa. Contohnya: shalat 5 waktu, puasa Ramadhan, zakat, dan sebagainya. 

Selain wajib, ada istilah lain yang mewakilinya, yaitu fardhu. Demikian menurut pendapat Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. 
Klasifikasi Wajib atau Fardhu 

Hukum wajib bukan saja satu macam. Bahkan ia memiliki beberapa bagian berdasarkan beberapa pertimbangan. Secara ringkas, macam-macam wajib dapat kita jelaskan sebagai berikut: 

Pertama, klasifikasi wajib berdasarkan kewajiban tertentu (mu’ayyan) yang tidak bisa diwakili dengan kewajiban lainnya dan kewajiban tidak tentu (mubham). Klasifikasi pertama tersebut seperti shalat. Artinya ketika seorang hamba diwajibkan menegakkan shalat, maka ia harus mengerjakan kewajiban yang disebut dengan shalat, tidak bisa ia mewakilinya dengan kewajiban-kewajiban yang lain, semisal shalat diganti dengan zikir. Demikian pula kewajiban-kewajiban mu’ayan lainnya, seperti zakat, puasa, haji ke Tanah Haram Makkah, dan sebagainya. 

Klasifikasi kedua dapat dicontohkan dengan kewajiban membayar kaffarat. Dalam Al-Quran, Allah menerangkan kewajiban yang harus dilakukan ketika seseorang melanggar sumpahnya: 

لَا يُؤَاخِذُكُمُ ٱللَّهُ بِٱللَّغۡوِ فِيٓ أَيۡمَٰنِكُمۡ وَلَٰكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا عَقَّدتُّمُ ٱلۡأَيۡمَٰنَۖ فَكَفَّٰرَتُهُۥٓ إِطۡعَامُ عَشَرَةِ مَسَٰكِينَ مِنۡ أَوۡسَطِ مَا تُطۡعِمُونَ أَهۡلِيكُمۡ أَوۡ كِسۡوَتُهُمۡ أَوۡ تَحۡرِيرُ رَقَبَةٖۖ فَمَن لَّمۡ يَجِدۡ فَصِيَامُ ثَلَٰثَةِ أَيَّامٖۚ ذَٰلِكَ كَفَّٰرَةُ أَيۡمَٰنِكُمۡ إِذَا حَلَفۡتُمۡۚ وَٱحۡفَظُوٓاْ أَيۡمَٰنَكُمۡۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمۡ ءَايَٰتِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ 
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” [Al-Maidah: 89] 

Ayat di atas memberi pengertian bahwa orang yang melanggar sumpahnya harus membayar kaffarat, yaitu melaksanakan salah satu dari tiga opsi berikut 
Memberi makan 10 orang miskin seperti yang biasa ia makan 
Memberi pakaian kepada orang miskin 
Memerdekakan budak atau hamba sahaya 
Kedua, klasifikasi wajib berdasarkan waktunya, terbagi menjadi dua, yaitu: 

Pertama, kewajiban yang memiliki masa senggang (muassa’). Artinya waktu untuk melaksankan kewajiban ini memiliki masa yang cukup senggang, sehingga bisa dikerjakan kapan saja sesuai keinginan; boleh di awal waktu –dan ini yang lebih utama, boleh dipertengahan waktu, atau di akhir waktu dengan syarat memasang niat bahwa ia akan mengerjakannya pada waktunya. Contoh kewajiban muwassa’ ialah kewajiban melaksanakan shalat lima waktu. Shalat zuhur di Tanah Air boleh dikerjakan pukul 12, 1, 2, atau menjelang pukul 3 siang. Shalat ‘isya pun demikian. Dapat dikerjakan pukul 7, 8, 9, 10, dan bahkan menjelang subuh menurut pendapat ulama Syafi’iyyah. Asalkan dikerjakan dalam waktunya, maka kewajiban telah gugur. 

Pertanyaan: Apa hukum seseorang yang berniat menunda mengerjakan kewajiban yang memiliki waktu senggang namun kemudian di tengah-tengah waktu pengerjaan ia meninggal? 

Jawabnya: selama ia telah memasang niat akan mengerjakan kewajiban tersebut di waktu yang diperbolehkan, maka orang tersebut tidak disebut sebagai pelanggar kewajiban (tidak bermaksiat). Alasannya karena kewajiban tersebut memiliki masa yang senggang, sehingga apabila ia ditakdirkan memiliki umur, ia akan mengerjakan kewajiban itu berdasarkan niat yang telah ia pasang di awal waktu. Hukum ini berlaku jika ia memiliki prasangka kuat bahwa ia masih memiliki umur di akhir waktu kewajiban. Adapun orang yang memiliki prasangka bahwa ia akan mati sebelum waktu pelaksanaan kewajiban berakhir, seperti orang yang dijatuhi hukum mati dan waktu eksekusinya telah ditentukan, maka jika ia tidak mengerjakan kewajiban tersebut sebelum masa ekskusi, tentu ia termasuk pelanggar kewajiban (baca: bermaksiat). 

Kedua, kewajiban yang memiliki masa sempit (mudhayyaq). Kewajiban ini kebalikan dari kewajiban muwassa’. Waktu pelaksanaannya sempit, tidak ada istilah mengundur atau menundanya. Seperti kewajiban puasa Ramdhan, ibadah haji ketika sudah mampu mengerjakannya –menurut pendapat ulama madzhab Imam Ahmad bin Hanbal, dan sebagainya. Kewajiab-kewajiban pada contoh tersebut tadi tidak memiliki masa tenggang. Waktu pengerjaannya hanya satu waktu. Karena itu, sekali lagi tidak ada istilah mengundur atau menundanya. Konsekuensinya ialah apabila ada seseorang yang tidak mengerjakan pada waktunya, maka kewajiban tadi tidak dapat digantinya dengan melaksanakannya di waktu lain. Sehingga ia harus segera bertaubat kepada Allah, memperbanyak istighfar, memenuhi hati dengan rasa penyesalan, serta berniat kuat untuk tidak mengulanginya kembali. Demikian menurut pendapat ulama madzhab Imam Ahmad bin Hanbal. Sementara itu, menurt madzhab Imam Asy-Syafi’i, walauapun waktu mengerjakan kewajiban telah berlalu, namun bukan berarti kewajiban tersebut menjadi gugur. Justru tetap harus dikerjakan. Mereka beranalogi dengan kasus orang yang tertidur sehingga waktu shalat telah usai. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim disebutkan: 

من نسي صلاة أو نام عنها فكفارتها أن يصليها إذا ذكرها 
“Barangsiapa yang lupa mengerjakan shalat atau tertidur, maka hendaknya ia mengerjakan shalat tersebut kapan ia menyadarinya.” 

Segi pendalilan dari hadits ini ialah jika saja orang yang tidak sengaja meninggalkan shalat tetap diharuskan mengerjakannya pada saat ia menyadarinya, tentu orang yang dengan sengaja tidak mengerjakan shalat lebih pantas mendapatkan kewajiban untuk mengerjakan kewajiban tersebut. Atau dengan kata lain, apabila orang yang terlupa mengerjakan shalat dan orang yang tertidur sehingga waktu shalat usai saja tidak membuat kewajiban shalat gugur baginya, tentulah orang yang terang-terangan sengaja tidak mengerjakan shalat lebih pantas kewajibannya mengerjakan shalat tidak gugur. 

Ketiga, klasifikasi kewajiban berdasarkan pelakunya, terbagi menjadi dua: 

Pertama, wajib ‘aini, yaitu kewajiban yang diberlakukan atas setiap person. Semisal shalat lima waktu, zakat, puasa, dan lain sebagainya. 

Kedua, wajib kifa’i atau fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada sebagian orang tidak menentu dengan syarat memadai. Oleh karena itu, apabila kewajiban tersebut telah dilaksanakan oleh sebagian orang dengan jumlah yang memadai, maka gugurlah kewajiban itu atas orang lain. Seperti penyelenggaraan jenazah dari mulai memandikan, mengkafani, menyolati, hingga memakamkannya. Begitu pula kewajiban mengumandangkan azan, shalat berjama’ah di masjid menut madzhab mayoritas ulama, menjawab salam, dan sebagainya. 

2. Sunnah 
Salah satu definisi sunnah ialah apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah sebagai berikut:
ما فعله الثواب و ليس في تركه عقاب 
Sesuatu yang apabila dikerjakan akan peroleh pahala, dan jika ditinggalkan tidak terancam siksa.” 

Definisi ini oleh Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi dinilai sebagai define terbaik yang dibawakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Raudhatun Nazhir. 
Defini lain untuk sunnah ialah: 
ما أمر به أمرا غير جازم 
Sesuatu yang diperintahkan tanpa penekanan.” 

Menurut penyelidikan yang kuat, sunnah termasuk sesuatu yang diperintahkan. Karena perintah ada dua macam: 

Perintah yang ditekankan (jazim), artinya apabila ditinggalkan akan peroleh azab. Inilah yang disebut dengan wajib atau fardhu. Perintah yang tidak ditekankan (ghair jazim), artinya ketika ditinggalkan tidak peroleh siksa. Inilah yang dikenal dengan istilah sunnah watau mandub. Dalil yang menunjukkan bahwa sunnah juga termasuk sesuatu yang diperintahkan ialah firman Allah Ta’ala: 
وَٱفۡعَلُواْ ٱلۡخَيۡرَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ 
 “…dan kerjakanlah kebaikan agar kalian beruntung.” [Al-Hajj: 77] 
Sisi penyimpulan dari ayat ini ialah bahwa sunnah termasuk dari kebaikan. 

Dalil lain ayat ke-90 dari surat An-Nahl. 
Nama lain sunnah ialah: mustahab dan mandub. 

Contoh perbuatan-perbuatan sunnah: memngawali segala sesuatu yang baik dengan basmalah, shalat shalat rawatib, dhuha, tahajud, witir, puasa syawal, senin & kamis, tiga hari setiap bulan, ber-hamdalah ketika bersin, bersedekah (selain zakat fitri dan harta), dan lain sebagainya.
 
3. Mubah 
Dalam Raudhah, disebutkan sebagai berikut: 

ما أذن الله في تركه و فعله غير مقترن بذم فاعله و تاركه و لا مدحه من الشرع 
Sesuatu yang Allah perkenankan; dikerjakan atau ditinggalkan, tidak diiringi dengan pujian atau celaan terhadap orang yang melakukan atau yang meninggalkannya.” 

4. Makruh
Definisi makruh ialah:
ما تركه خير من فعله 
Sesuatu yang jika ditinggalkan lebih baik daripada dilakukan.”

Kalau mau, makruh dapat didefinisikan sebagai berikut:

ما نهي عنه نهيا غير جازم 
Sesuatu yang dilarang dengan tanpa penekanan.”

Istilah makruh juga biasa dipakai untuk mewakili istilah mahzhur dan nahyu tanzih. Makruh dengan definisi di atas ialah menurut Bahasa ulama-ulama fikih. Sedangkan makruh dalam Al-Quran, maka bermakna mahzhur (terlarang). Hal ini seperti yang firman Allah Ta’ala:
 
كُلُّ ذَٰلِكَ كَانَ سَيِّئُهُۥ عِندَ رَبِّكَ مَكۡرُوهٗا 
Semua itu kejahatannya amat di-makruh-i oleh Rabb-mu.” [Al-Isra’: 38] 

Makruh dalam ayat ini bermakna dibenci, dilarang, ditegah. Bukan makruh menurut istilah kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih. 

Demikian pula, makruh diartikan dialarang, diharamkan, dan ditegah jika dibawakan oleh ulama-ulama permulaan, seperti Imam Asy-Syafi’i. Di dalam Kitab “Al-Umm”, beliau banyak menggunakan istilah makruh ini. Namun makruh menurut istilah beliau bukan seperti menurut istilah kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih yang muncul di kemudian hari. Bahkan makruh yang dimaksud Imam Asy-Syafi’i seperti maksud makruh menurut Al-Quran. Sebagaimana Asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, dan ulama-ulama semasa dan sebelumnya menggunakan istilah ini dengan pengertian haram. Contoh perbuatan makruh ialah masuk masjid langsung duduk tanpa mengawalinya dengan shalat, bertuturkata saat beraktifitas dalam kamar kecil, bersandar ketika makan, dan sebagainya. 

5. Haram 
Pengertian haram ialah rival daripada wajib, yaitu:
ما في تركه الثواب و في فعله العقاب 
Sesuatu yang apabila ditinggalkan berpahala dan jika dikerjakan disiksa.”

Atau:
ما نهي عنه نهيا جازما 
Sesuatu yang dialarang dengan keras.”

Seperti: makan harta riba, jual beli gharar, koprasi simpan pinjam yang marak di Indonesia, berdukun, ghibah, namimah, zhalim, mencuri, berzina, berdusta, dan banyak lagi. Wallahua’lam.

Post a Comment

أحدث أقدم