umat islam yang beriman adalah umat islam yang mengikuti beribadah dengan petunjuk Allah dan rosulnya. Dalam islam setiap perbuatan dalam hal ibadah ada tuntunannnya. Islam disunnahkan ziarah kubur akan tetapi beribadah atau meminta atas kubur sangat dilarang. Dilarang beribadah dikuburan, dilarang meminta-minta dikuburan dan dilarang membangun kuburan. Namun masih saja sebagian yang mengaku umat islam melakukan hal yang paling dimurkai allah ta'ala.
Allah subhanahu wa ta'ala dan nabi Muhammad adalah yang paling kita cintai. Ketika Allah ta'ala dan rasul-nya melarang maka hendaklah kita sebagai orang yang beriman meninggalkan apa yang dilarang. Allah ta'ala dan rasul-nya benci pada kesyirikkan maka hendaklah kita juga benci pada perbuatan syirik. Salah satu sebab yang membuat seseorang menjadi kufur adalah sikap ghuluw dalam beragama, baik kepada orang shalih atau dianggap wali, maupun ghuluw kepada kuburan para wali, hingga mereka beribadah dikuburan, membaca Al qur'an, membaca surah Yasin, sholat, dzikir, meminta/berdo’a kepada kuburan dan penghuninya padahal ini adalah perbuatan syirik akbar.[1]
Syirik Akbar (Besar), memalingkan
ibadah untuk selain Allah, seperti doa kepada selain Allah, dan meminta bantuan
kepada orang-orang yang telah mati, atau meminta kepada orang yang hidup akan
tetapi tidak hadir dihadapan kita. [2] Dosa syirik akbar ini tidak akan
diampuni oleh Allah. Dan amal shalih apapun tidak akan diterima jika disertai
dengan syirik akbar ini. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya Allah tidak
mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa
yang lebih rendah derajatnya dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa
yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah
tersesat sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisaa’: 116)[3]
Ketahuilah wahai saudaraku
–semoga Allah merahmati kita-, Ghuluw [4] adalah Sikap atau perbuatan yang
berlebih-lebihan di dalam perkara agama sehingga melampaui apa yang telah
ditetapkan melalui batasan syari’at baik bentuknya keyakinan atau perbuatan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman, yang artinya:
“Katakanlah: ‘Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara yang tidak benar di dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang terdahulu yang telah sesat (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. al-Maidah: 77)
Sesungguhnya agama ini telah lengkap dan tidak perlu kepada penambahan atau pengurangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya:“Pada hari ini telah Aku sempurnakan
untuk kamu agama-mu, dan telah aku cukupkan kepada kamu nikmat-Ku, dan telah
Aku ridhai Islam itu menjadi agama bagimu.” (QS. al-Ma’idah: 3)
Berlebih-lebihan Dalam Mengagungkan Orang-orang Shalih menjadi Penyebab Manusia Kufur dan Meninggalkan Agamanya. Disebutkan dalam riwayat yang shahih, bahwa shahabat Ibnu Abbas radhiyAllahu ‘anhu menafsirkan firman Allah Ta’ala:
وقالوا
لا تذرن آلهتكم ولا تذرن ودا ولا سواعا ولا يغوث ويعوق ونسرا
“Dan mereka (kaum Nabi Nuh) berkata, ’Janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (peribadahan kepada) Tuhan-tuhan kalian, dan janganlah sekali-kali kalian meninggalkan (peribadahan kepada) Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.’” (QS. Nuh: 23)
Demikianlah makar setan terhadap
mereka dengan menghembuskan api perselisihan di antara mereka sehingga mereka
meninggalkan ajaran rasul, memperdayakan mereka sehingga mengagungkan
orang-orang yang sudah mati dan bermukim di kuburan-kuburan mereka. Kemudian
setan memperdaya mereka sehingga membuat gambar dan patung orang-orang yang
sudah mati itu. Dan akhirnya mereka menyembah patung-patung tersebut.
Orang-orang musyrik di kalangan
kaum Nuh adalah kaum yang pertama kali melakukan kemusyrikan. Bentuk
kemusyrikan yang pertama kali mereka lakukan adalah pengagungan terhadap
orang-orang mati, dan itulah syirik ardhi, syirik yang pertama kali terjadi di
bumi ini. Tatkala manusia telah menyembah berhala, menyembah thaghut dan
terjerumus dalam kesesatan dan kekufuran, maka Allah ‘Azza wa Jalla mengutus
Rasul pertama kepada penduduk bumi sebagai rahmat-Nya kepada mereka, rasul itu
adalah Nuh ‘alaihis salam bin Yardah bin Mahil bin Qainan bin Anusy bin Syits
bin Adam ‘alaihis salam.
Ibnul Qayyim berkata, “Banyak ulama salaf yang menuturkan, ‘Ketika orang-orang (yang disebut pada ayat tersebut) telah meninggal, orang-orang setelah mereka beri’tikaf (berdiam diri dengan tujuan beribadah) di atas kuburan mereka. Selanjutnya mereka membuat patung-patung mereka. Dan setelah masa berlalu lama, generasi penerus mereka mulai beribadah kepada patung tersebut.”[6]
Berlebih-lebihan terhadap orang-orang shalih dan para nabi dengan memberikan salah satu bentuk beribadatan kepada mereka yang merupakan bagian dari sifat uluhiyah, atau menjadikan mereka satu bentuk persembahan dan penghambaan adalah merupakan bentuk kesyirikan yang mengeluarkan seseorang dari keislamannya. Sebab, sifat uluhiyah itu secara keseluruhan hanya menjadi milik Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Uluhiyah ini tidak patut diberikan kepada siapapun juga, kecuali hanya kepada-Nya.[7]
“عَنْ
عُبَيْدِاللهِ بْنِ عَبْدِاللهِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِي اللهُ
عَنْهُمْ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ لاَ تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ
فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
”
Dari ‘Ubaidillah bin Abdillah dari Ibnu ‘Abbas, ia mendengar ‘Umar radhiyAllahu ‘anhu berkata di atas mimbar : Aku mendengar Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku seperti orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji putra Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba Allah, maka katakanlah ‘Abdullah (hamba Allah) dan Rasul-Nya” (HR. Al-Bukhari)
Dari hadits ini beliau ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam melarang umatnya dari berlebih-lebihan dalam pujian, sebagaimana umat nashrani telah melampaui batas ketika memuji Isa bin Maryam. Perbuatan mereka ini telah menjerumuskan mereka kepada jurang kekafiran dan kesyirikan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Mereka telah mengklaim bahwa Isa bin Maryam sebagai anak Allah ‘Azza wa Jalla. Karena itu, beliau ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya aku hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : hamba Allah dan rasul-Nya.”
Dan Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
“إياكم
والغلو، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو”
“Waspadalah dari kalian sikap berlebih-lebihan, karena sesungguhnya sikap berlebih-lebihan itulah yang telah membinasakan orang-orang sebelum kalian” (HR. Ahmad, Turmudzi dan Ibnu majah dari Ibnu Abbas radhiyAllahu ‘anhu).
Imam Muslim juga meriwayatkan
dari shahabat Ibnu Mas’ud bahwa Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda,
“هلك
المتنطعون ” قالها ثلاثا.
“Binasalah orang-orang yang berlebih-lebihan” (Beliau mengulangi sabdanya ini sebanyak tiga kali).
Ketahuilah wahai Saudaraku
seiman, -semoga Allah senantiasa memberi rahmat kepada anda- dari hadits-hadits
di atas Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam telah melarang kita dari
segala macam perbuatan melampaui batas. Perbuatan melampaui batas adalah sumber
dari semua kejelekan, dan sikap bersahaja (tidak berlebihan dan tidak
meremehkan) dalam setiap urusan adalah sumber bagi segala keberhasilan dan
kebaikan.
Larangan Keras Beribadah Kepada
Allah Di Atas Atau Sisi Kuburan Orang-orang Shalih.[8]
Diriwayatkan pada hadits shahih,
dari istri Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam ‘Aisyah radhiyAllahu ‘anha
bahwa Ummu Salamah mengisahkan kepada Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam
tentang suatu gereja, yang pernah ia lihat di negeri Habasyah (Ethiopia),
beserta gambar-gambar yang terpampang di dalamnya. Mendengar kisah istrinya
ini, Nabi ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda,
“أولئك
إذا مات فيهم الرجل الصالح، أو العبد الصالح بنوا على قبره مسجدا، وصوروا فيه تلك
الصور، أولئك شرار الخلق عند الله.”
”Mereka itu, apabila ada orang
yang shalih atau hamba yang shalih meninggal, mereka membangun di atas
kuburannya sebuah masjid (tempat ibadah), dan mereka membuat di dalamnya
patung-patung, dan merekalah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah”.
Mereka telah menggabungkan dua
sumber kesesatan : membangun masjid di kuburan dan membuat patung-patung.
Pada hadits tersebut kata
“masjid” adalah sebutan bagi setiap tempat yang dijadikan untuk beribadah
kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan demikian, hadits ini menunjukkan bahwa
gereja-gereja mereka dibangun di atas kuburan orang-orang shalih. Di dalamnya
atau di atas kuburan itulah mereka menggantungkan gambar orang shalih tersebut.
Mereka melakukan itu guna membangkitkan kesadaran masyarakat untuk beribadah
kepada Allah, melalui pengagungan orang shalih dan kuburannya.
Nabi menanggapi kisah Ummi Salamah dengan bersabda, “Mereka itu sejelek-jelek makhluk di sisi Allah”. Yang beliau maksudkan ialah para pengagung orang shalih yang membangun masjid di atas kuburan. Pada hadits ini tidak ada pernyataan bahwa mereka beribadah kepada orang shalih tersebut. Mereka hanya mengagungkan kuburan tersebut, dan membuat gambar atau patung mereka. Akan tetapi perhatikanlah bahwa sesungguhnya Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam telah mencela perbuatan mereka karena mereka telah menggabungkan dua sumber kesesatan : membangun masjid di kuburan dan patung-patung. Kedua hal ini merupakan penyebab terjadinya syirik akbar. Dapat kita pahami bahwa hadits ini adalah peringatan dan sekaligus larangan bagi umat ini dari membangun masjid di atas kuburan seseorang.
Amalan yang beliau ShallAllahu
‘alaihi wa Sallam tegur dengan keras adalah mendatangi kuburan orang shalih,
guna beribadah kepada Allah di sana. Biasanya orang yang melakukan ini
mengharap mendapatkan keberkahan di tempat tersebut. Orang awam seringkali
melakukan amalan ini. Mereka meyakini bahwa tanah sekitar kuburan orang shalih
memiliki keberkahan, sehingga amal ibadah di sana berbeda dengan amal ibadah di
tempat lain.
“Terlebih lagi orang yang
beribadah kepada kuburan”. Maksudnya beribadah kepada kuburan atau penghuni
kuburan tersebut. Para penyembah kuburan, kadangkala menunjukkan ibadahnya
kepada kuburan, dan kadangkala menunjukkannya kepada penghuni kuburan. Dan pada
beberapa kesempatan, sebagian mereka menunjukkan ibadahnya kepada tempat di
sekitar kuburan. Betapa banyak bangunan, soko (tiang) dan pagar kuburan para
wali telah dijadikan sebagai tempat tujuan berziarah dan ngalap berkah.
Dengan ritual itu, mereka telah
menjadikan pagar besi dan dinding kuburan sebagai sesembahan. Bahkan mereka
meyakini bila mengusapnya akan mendapatkan keberkahan. Tidak jarang dari mereka
yang menjadikannya sebagai parantara/ wasilah doa mereka kepada Allah ‘Azza wa
Jalla. Mereka beri’tikaf dan menjalankan berbagai ritual ibadah di sana.
Sebagaimana mereka juga menggantungkan harapan dan rasa takutnya kepada
kuburan-kuburan tersebut.
Imam Bukhari dan Muslim juga
meriwayatkan dari Aisyah radhiyAllahu ‘anha pula, ia menuturkan bahwa ketika
Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam sedang didatangi (oleh Malaikat Maut),
beliau menutup wajahnya dengan sehelai baju. Dan tatkala merasakan sesak,
beliau membukanya, -dalam keadaan demikian itu- beliau bersabda,
“لعنة
الله على اليهود والنصارى، اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد”
“Semoga Allah melaknat
orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka telah menjadikan kuburan nabi-nabi
mereka sebagai masjid (tempat peribadatan).”
Imam Muslim meriwayatkan dari shahabat Jundub bin ‘Abdullah, dimana ia menuturkan: “Aku pernah mendengar Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam bersabda lima hari sebelum beliau meninggal dunia,
“إني
أبرأ إلى الله أن يكون لي منكم خليلا، فإن الله قد اتخذني خليلا كما اتخذ إبراهيم
خليلا، ولو كنت متخذا من أمتي خليلا لاتخذت أبا بكر خليلا، ألا وإن من كان قبلكم
كانوا يتخذون قبور أنبيائهم مساجد، ألا فلا تتخذوا القبور مساجد فإني أنهاكم عن
ذلك”
“Sungguh, Aku berlepas diri atas nama Allah untuk memiliki seorang khalil (kekasih yang sangat dekat) dari kalian, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan aku sebagai khalil-Nya, sebagaimana Ia telah menjadikan Ibrahim sebagai khalil-Nya. Seandainya aku boleh mengambil seorang khalil dari umatku, maka aku akan jadikan Abu Bakar sebagai khalil-ku. Dan ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kalian telah menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai tempat ibadah, dan ingatlah, janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah, karena aku benar-benar melarang kalian dari perbuatan itu”.
Rasululloh ShallAllahu ‘alaihi wa
Sallam di akhir hayatnya -sebagaimana dalam hadits Jundub- telah melarang
umatnya untuk tidak menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah. Kemudian ketika
dalam keadaan hendak diambil nyawanya –sebagaimana dalam hadits Aisyah- beliau
melaknat orang yang melakukan perbuatan itu, dan sholat di sisinya termasuk
pula dalam pengertian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, walaupun tidak
dijadikan bangunan masjid, dan inilah maksud dari kata-kata Aisyah
radhiyAllahu‘anha.:“… dikhawatirkan akan dijadikan sebagai tempat ibadah.”
Dan para sahabat pun belum pernah
membangun masjid (tempat ibadah) di sekitar kuburan beliau, karena setiap
tempat yang digunakan untuk sholat berarti telah dijadikan sebagai masjid,
bahkan setiap tempat yang dipergunakan untuk sholat disebut masjid, sebagaimana
yang telah disabdakan oleh Rasul ShallAllahu ‘alaihi wa Sallam,
“جعلت لي
الأرض مسجدا وطهورا”.
“Telah dijadikan bumi ini
untukku sebagai masjid dan suci”.
Dan Imam Ahmad meriwayatkan
hadits marfu’ dengan sanad yang jayyid (bagus), dari Ibnu Mas’ud
radhiyAllahu‘anhu, bahwa Nabi Muhammad ShallAllahu’alaihi wa Sallam bersabda,
“إن من
شرار الناس من تدركهم الساعة وهم أحياء، والذين يتخذون القبور مساجد”.
“Sesungguhnya, termasuk sejelek-jelek manusia adalah orang yang masih hidup saat hari kiamat tiba, dan orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah (masjid)” (HR. Abu Hatim dalam kitab shohihnya).
Ghuluw Terhadap Orang Shalih Merupakan Akar Kesyirikan Dari Masa Ke Masa Hingga Melanda Indonesia[9]
Salah satu penyakit akidah yang
menjangkiti Ummat Islam di Indonesia adalah kegemarannya mengagungkan kuburan
nenek moyang dan sosok yang dianggap shalih, untuk dijadikan perantara meminta
berkah, kesehatan, minta anak, jodoh, jabatan, dan berbagai hajat lainnya.
Kenyataan adanya kepercayaan yang
salah bahkan merusak aqidah Islam, contohnya keberadaan makam Walisongo tidak
lepas dari mitos, seperti jika orang punya tujuan tertentu berziarah ke makam
Walisongo maka doa-doanya akan dikabulkan.
Banyaknya makam yang dikeramatkan
di berbagai tempat itu menjadikan keprihatinan para ulama yang masih punya
kepedulian dan menyayangi Ummat Islam agar tidak terjerumus ke dalam kesesatan
yang nyata.
Seorang Syaikh dari Timur Tengah
yang berceramah di Radio Rodja Cilengsi Bogor diterjemahkan Ustadz Zaenal
Abidin bin Syamsuddin, Selasa 05 Oktober 2010 tentang pentingnya Tauhid
menyebutkan, di dunia Islam ada 20.000 kuburan yang dikeramatkan, yang dapat
mengakibatkan pelakunya melakukan kemusyrikan yang mengeluarkan dari Islam.
Kalau pun tidak sampai terjerumus ke dalam kubangan kemusyrikan, masalah yang berkaitan dengan kuburan ini menimbulkan pula amaliah yang belum tentu sesuai dengan syari’at. Termasuk, sekedar membaca Al-Qur’an di kuburan. Membaca Al-Qur’an di kuburan merupakan amalan yang tidak ada tuntunannya, namun oleh mereka diyakini sebagai amal baik yang layak dilakukan saat melakukan ziarah kubur.
Penyimpangan yang jauh dari Islam
lebih jauh lagi ketika tujuan orang-orang yang berziarah kubur pun mengikuti
penuturan para juru kunci untuk meminta apa-apa yang dihajatkan. Bahkan ada
juru kunci yang mencatat hajat masing-masing peziarah untuk dijadikan apa yang
mereka sebut pengantar dalam doa (meminta kepada mayat). Hingga kuburan-kuburan
itupun dianggap ada fak-fak atau jurusan-jurusan masing-masing. Yang mau lancar
rezekinya maka juru kunci menunjuki ke kuburan wali Fulan A. Yang ingin naik
jabatan maka ke kuburan wali Fulan B, dan lain-lain. Betapa jauhnya hal itu
dari apa yang diucapkan setiap shalat, membaca al-fatihah:
إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami
sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS Al-Fatihah:
5).
Larangan berdoa kepada selain
Allah pun telah ditegaskan dalam Al-Qur’an:
وَلَا
تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلَا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ
فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ (106) وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا
كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ
يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
[يونس/106-107]
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang zhalim.(106) Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karuniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Yunus : 106-107).
Berdoa adalah ibadah[10], maka orang yang berdoa memohon kepada selain Allah (seperti kepada isi kubur, roh, patungkan dan sebagainya) berarti adalah menyembahnya. Maka Syaikh As-Syinqithi dalam Tafsir Adhwaaul Bayan menggolongkan lafadz zhalim dalam QS Yunus: 106 (jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim) itu artinya adalah kafir. Sebagaimana dalam QS Al Baqarah: 254 dan QS Luqman: 13.
Kenyataan jauhnya praktek
penyimpangan di kalangan Ummat Islam, tampaknya semakin menjadi-jadi, sedangkan
secara jumlah pun semakin berkembang subur. Perlu kita tengok, gejala buruk ini
mesti ada pemicunya, bahkan mungkin ada penggeraknya. Kita tengok ke sepuluh
tahun yang lalu, bagaimana keadaan yang menggiring ke arah carut marutnya
pemahaman dan pengamalan Ummat Islam terhadap agamanya. Sebagai gambaran
singkat, mari kita simak kutipan berikut ini:
Dalam kata pengantar buku
(Hartono Ahmad Jaiz) berjudul Tasawuf, Pluralisme, dan Pemurtadan terbitan Pustaka
Al-Kautsar 2001 di antaranya ditulis:
“Perlu diingat, kalimah syahadat pun diacak-acak Nurcholish Madjid dengan cara menerjemahkannya menjadi Tiada tuhan (t kecil) selain Tuhan (T besar). Sedang lafal Assalamu’alaikum diinginkan Gus Dur untuk diganti dengan selamat pagi. Kuburan pun diberi istilah “keramat” entah oleh siapa, yang kandungannya rawan syirik. Lalu Gus Dur menghidupkan Sunnah Sayyi’ah (jalan keburukan) tentang pengeramatan itu dengan menghadiri kuburan Joko Tingkir di Lamongan Jawa Timur yang tak banyak dikenal orang, akibatnya praktek rawan kemusyrikan itu marak kembali sejak Juli 1999. (Tulisan ini bukan berarti anti ziarah kubur, namun dalam hal ini jelas kaitannya dengan pengeramatan kuburan yang jelas mengandung kerawanan syirik). Sementara itu pihak Nasrani lewat Nehemia-nya mengacak-acak Islam dengan menyebarkan lembaran-lembaran yang disebut “Dakwah Ukhuwah” padahal isinya memutar balikkan ayat-ayat Al-Quran dan Al-Hadits.” (Kata Pengantar buku Hartono Ahmad Jaiz, berjudul Tasawuf, Pluralisme, dan Pemurtadan terbitan Pustaka Al-Kautsar 2001).
Wahai saudaraku –semoga Allah
merahmati Anda-, dari keadaan ditulisnya peristiwa itu hingga kini jaraknya
hanya dalam masa sepuluhan tahun, tetapi ternyata perusakan agama itu sudah
sedemikan dahsyat dampaknya. Di antaranya:
1. Pluralisme agama yang bahasa
Islamnya adalah kemusyrikan baru (namun karena istilahnya tidak diambil dari
istilah Islam maka Ummat Islam tidak faham) sudah merambah ke mana-mana.
Sampai-sampai diselenggarakan perayaan lintas agama di Senayan Jakarta, Ahad 06
Februari 2011, bahkan tokoh utamanya adalah ketua umum Muhammadiyah Din
Syamsuddin dan direncanakan akan didatangkan 10.000-an orang dari berbagai
agama. Acara itu disertai pula doa bersama antar agama, yang tentu saja hal itu
sama sekali tidak sesuai dengan Islam. Sebagaimana telah berlangsung acara yang
mengagetkan, apa yang disebut haul memperingati kematian Gus Dur tahun pertama
Desember 2010 diadakan doa bersama antar agama dan tahlilan serta yasinan di
gereja di Jombang. Itu di samping acara lainnya, haul Gus Dur disertai tahlilan
dengan diadakan pula arak-arakan barongsai dari keyakinan Konghucu Cina.
(innalillahi wainnailaihi raaji’uun -red)
2. Kubur-kubur yang dikeramatkan pun semakin mengkristalkan sikap mengagungkan yang luar biasa, hingga satu kuburan keramat di Tanjung Priok Jakarta (kuburan Mbah Priok) mampu mengerahkan pembela-pembelanya sampai ribuan orang dan ada yang masih dibawah umur (atau anak-anak). Bahkan memperjuangkan entitasnya seolah seperti berjihad dalam agama, ketika membela kuburan yang mereka anggap keramat. (lihat buku Pendangkalan Akidah Berkedok Ziarah di Balik Kasus Kuburan Keramat Mbah Priok).
Demikianlah di antara fenomena
ghuluw terhadap kuburan orang sholeh, bahkan seiring berjalannya waktu, ghuluw
tersebut tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang benar-benar sholeh, akan
tetapi dapat kita saksikan yang ada di sekitar kita yaitu di Indonesia
bahwasannya orang-orang yang dianggap sholeh itu semasa hidupnya juga dekat
dengan kesyirikan dan berbagai penyimpangan. Wallahu a’lam.
Sungguh sesuai jika di sini
dinukilkan sedikit dari sya’ir al-‘Allamah Sulaiman bin Sahman rohimahullohu,
dia mengungkapkan :
Millah Ibrahim telah
ditinggalkan, tidak ada berbekas sama sekali dan ia pun tidak memiliki lagi
tanda-tanda.
Agama itu telah sirna di hadapan
kita. Bagaimana tidak? Sungguh, bagaikan debu diterpa angin dari segala
penjuru.
Agama itu hanyalah kecintaan, kebencian,
dan kesetiaan, serta pelepasan diri dari setiap orang yang sesat dan berdosa.
Tidak ada lagi orang yang
beribadah berpegang teguh dengan millah putera Hasyim, Nabi yang berasal dari
Mekkah.
Sementara, kita tidak memandang
apa yang menimpa dien dan memupus agama yang lurus ini sebagai suatu bencana.
Kita sedih atas kelalaian kita
dan memohon kepada Allah agar mengampuni dosa-dosa besar.
Kita pun mengadukan kepada-Nya
hati-hati yang telah membatu, dan ternista oleh berbagai maksiat.
Bukankah bila kita kedatangan
orang yang lalim yang berlumuran dengan noda-noda ahli syirik,
kita pun bersenang hati
menghaturkan salam penghormatan dan sanjungan, serta bersegera menyajikan
hidangan.
Rasululloh al-Ma’shum berlepas
diri dari setiap Muslim yang menetap di negeri syirik tanpa melakukan
pemutusan.
Namun, akal kita hanya mencari kehidupan dunia, mau menerima setiap ahli maksiat lagi pendosa.
Jika yang demikian itu berlangsung pada zamannya, lalu bagaimana yang terjadi pada zaman sekarang ini? Kita memohon kepada Allah keselamatan bagi kita dan kaum muslimin di dunia dan di akhirat[11].
Jalan yang benar adalah agama
yang dibawa Muhammad ShallAllahu’alaihi wa Sallam, sedangkan jalan yang sesat
adalah agama Abu Jahal. Sementara ‘urwatul wutsqaa (ikatan yang paling kuat)
adalah syahadat bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Allah.
Syahadat yang mencakup nafi (peniadaan) dan itsbat (penegasan), menafikan
segala macam ibadah selain kepada Allah, dan menegaskan bahwa segala macam
ibadah –secara keseluruhan- hanya bagi Allah semata, tidak ada sekutu
bagi-Nya.[12]
Akhirnya, segala puji bagi Allah
Rabbul ‘Alamin, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi kita, Muhammad
ShallAllahu’alaihi wa Sallam, keluarganya, dan para shahabatnya.
***
Penulis: Septira Utami Ummu HaniyahMuroja’ah: Ust. Ammi Baits
Artikel muslimah.or.id.
Posting Komentar